Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kutim, Bahrani.(Foto: Dok Humas)
SANGATTA – Masyarakat se Kutai Timur (Kutim) terbiasa mengisi ulang air minum dengan kemasan galon di depot air minum atau pertokoan. Namun ada hal yang wajib diwaspadai, sebab sebagian besar depot pengisian air isi ulang di Kutim belum melaksanakan uji laboratorium. Disebabkan belum adanya tarif retribusi di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) di Kutim dan harus ke Labkesda Samarinda. Dengan belum melakukan uji laboratorium, sama artinya depot dimaksud belum mengantongi rekomendasi higienis sebagai standar kualitas air siap minum.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kutim, Bahrani menerangkan selama ini pengujian air selalu dikirim ke Samarinda. Namun karena harus menunggu, dirinya berinisiatif untuk meminta pengadaan alat pengujian air.
“Sekarang sudah pesan alat untuk uji air, di APBD Perubahan kemarin. Dari dulu sebelum saya menjabat, uji air selalu seperti ini, jaman saya menjabat sekira 2017 lalu saya mengesahkan perda air minum,” katanya saat diwawancarai usai rapat Coffee Morning di Ruang Meranti, Kantor Bupati Kutim, Senin (21/10/2019).
Hal ini menurutnya sangat riskan dan perlu diatur, sebab itu banyak usaha air galon yang mengabaikan dan tidak melakukan uji lab. Jika tidak diantisipasi, hal ini bisa menjadi pemicu penyakit semakin mudah berkembang.
“Jangan sampai microbanya banyak, bahaya bisa menyebabkan diare atau bahkan kandungan logamnya juga tinggi. Sejak ada perda itu langsung kami perketat,” tegasnya.
Ia menyampaikan tidak hanya depo galon air minum, PDAM Tirta Tuah Benua juga kerap melaporkan hasil uji kelaikan tersebut.
Senada, Bidang Kesehatan Lingkungan Dinkes Kutim, Yeni menyampaikan uji kualitas air dengan parameter kimia dan bakteriologis kerap dibawa ke Labkesda Samarinda, sebab Labkesda di Kutim menurutnya tidak bisa melakukan pelayanan, karena belum ada tarif retribusi.
“Labkesda Kutim sudah bisa melayani pemeriksaan air parameter bakteriologis dan pemeriksaan makanan, harapannya kalau sudah ada tarif retribusi kita bisa melayani pemeriksaan air disini,” harapnya.
Adapun dirinya mengatakan tarif retribusi dibuat berdasarkan kajian bersama antara Pemda dan DPRD setempat. Oleh sebab itu, di Kutim masih banyak depot air isi ulang yang belum mempunyai sertifikat laik hygiene sanitasi
dari Dinkes.
“Sesuai Permenkes 492 persyaratan kualitas air minum, sedangkan kendala bagi pemilik depo adalah biaya pemeriksaan laboratorium di Samarinda sangat mahal. Untuk pemeriksaan lengkap kimia dan bakteriologis dikenai harga Rp 1.670.000 per enam bulan sekali,” jalasnya.
Ia pun menduga hal tersebut menjadi salah satu penyebab pemilik depot galon di Kutim tidak melakukan uji laboratorium pada air yang dijualnya ke masyarakat. (hms7)