Beranda Entertainment Jurnalis PWI Kutim Dibekali Pedoman Pemberitaan Ramah Anak

Jurnalis PWI Kutim Dibekali Pedoman Pemberitaan Ramah Anak

456 views
0

Ketua PWI Kaltim Endro S Efendi saat memberikan materi PPRA. Foto: Irfan Pro Kutim

SANGATTA – Ketua PWI Kaltim Endro S Efendi memberikan penjelasan detail terkait Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dalam kegiatan Orentasi Wartawan ke I Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Perwakilan Kutai Timur (Kutim) di Pelangi Room Hotel Royal Victoria, Senin (18/1/2021) lalu. Menurutnya ada 12 rincian PPRA yang harus diperhatikan seorang wartawan dalam penulisan berita.

Poin pertama, wartawan harus merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya. Kedua, wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis. Ketiga, wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatic.

Selanjutnya, keempat, wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak. Kelima, wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan. Keenam, wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK. Ketujuh, wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.

Berikutnya, kedelapan, wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan. Sembilan, dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan. Sepuluh, wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA. Sebelas, wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial. Terakhir pada poin duabelas, dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

“Dua belas rincian PPRA ini sudah berdasarkan penilaian akhir atas sengketa pelaksanaan PPRA ini diselesaikan oleh Dewan Pers, sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan-Peraturan Dewan Pers yang berlaku,” terang Endro.

Selain itu, wartawan juga harus memperhatikan kode etik dalam PPRA. Perlu adanya liputan dua sisi agar pemberitaan berimbang. Selanjutnya harus uji kebenaran informasi dengan memastikan kredibilitas sumber.

“Perhatikan akurasi data dan kutipan sumber, konfirmasi sumber kunci dan tidak menghakimi (menjaga asas praduga tak bersalah), tidak merendahkan perempuan, menjaga keselamatan anak-anak, tidak berbau SARA dan tidak berbau pornografi,” tegasnya.

PPRA ini sudah sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) lahir pada 30 Juli 2012. UU SPPA lahir antara lain atas dasar Pasal 28 UUD 1945 hasil amandemen kedua pada tahun 2000, khususnya Pasal 28B yang telah lebih dahulu melahirkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (PA) pada 22 Oktober 2002.

Hal lain yang menjadi pertimbangan hukum lahirnya UU SPPA adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (PA)

“SPPA adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap Penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. (Pasal 1 angka 1 UU SPA). Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA). Semua pihak yang terkait dengan penanganan anak berhadapan dengan hukum harus presisi terhadap usia anak saat diduga melakukan tindak pidana,” tegas Endro.(hms13/hms3)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini