Momen kegiatan menyumpit gelaran Dispora Kutim. Foto: Bagus/Pro Kutim
SANGATTA — Langit Sangatta cerah pada Sabtu (14/6/2025). Di halaman Kantor Dinas Kepemudaan dan Olahraga Kutai Timur (Dispora Kutim). Suara tawa, aba-aba, dan desiran anak sumpit memenuhi udara. Sebanyak 202 penyumpit dari 22 komunitas di seluruh Kalimantan berkumpul dalam satu semangat yang sama, melestarikan budaya dan mempererat persaudaraan.
Acara bertajuk “Silaturahmi dan Latihan Bersama Penyumpit se-Kalimantan” itu menjadi momen penting bagi dunia olahraga tradisional. Dibuka secara simbolis oleh Kepala Dispora Kutim Basuki Isnawan, yang mewakili Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman, kegiatan diawali dengan pelepasan sumpit perdana oleh Basuki sendiri. Dengan sikap tenang dan arah bidikan yang mantap, ia menandai dimulainya kegiatan yang penuh makna tersebut.

“Pemerintah Kabupaten Kutim akan selalu mendukung kegiatan positif seperti ini,” ujar Basuki di hadapan ratusan peserta dan tamu undangan.
Tak sekadar memberi sambutan, Basuki menekankan pentingnya olahraga tradisional sebagai penyeimbang zaman. Terutama bagi generasi muda. Menurutnya, menyumpit bukan hanya bagian dari tradisi, melainkan juga sarana preventif terhadap berbagai penyimpangan sosial.
“Kegiatan seperti ini perlu ditekankan pada pelajar agar terhindar dari kegiatan negatif seperti narkoba, balap liar, dan judi online,” tambahnya.

Menyumpit, dalam konteks Kalimantan, adalah lebih dari sekadar ketangkasan. Ia adalah warisan budaya yang menuntut ketenangan, fokus, dan kehati-hatian. Nilai-nilai yang relevan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang ingin disampaikan oleh Nikodimus, selaku Ketua Panitia dan Ketua Komunitas Olahraga Tradisional Sumpit Burui Put Sangatta.
“Peserta datang dari Malinau, Bontang, Samarinda, Kutai Barat, dan Kukar,” jelasnya.
Nikodimus menambahkan bahwa latihan bersama ini bukan ajang kompetisi, melainkan ruang belajar lintas komunitas. Peserta dari berbagai latar belakang usia dan daerah saling berbagi teknik, pengalaman, serta filosofi menyumpit yang mereka warisi dari leluhur.
“Kami ingin anak-anak muda mengenal ini sebagai bagian dari jati diri mereka. Ini bukan hanya tentang membidik tepat sasaran, tapi juga menjaga warisan dan membentuk karakter,” ungkap Niko, sapaan karib Nikodimus.

Tak ada hadiah besar yang ditawarkan. Namun yang dibawa pulang oleh para peserta jauh lebih berharga. Yaitu rasa memiliki terhadap budaya sendiri. Anak-anak muda berdiri berdampingan dengan penyumpit senior, belajar mengatur napas, memilih sudut tembak, dan memahami bahwa keheningan bisa menjadi kekuatan.
Di sela kegiatan, peserta tampak antusias berbincang dan bertukar teknik. Beberapa komunitas menunjukkan inovasi mereka, seperti penggunaan bahan lokal untuk sumpit yang lebih ringan, hingga desain sasaran latihan yang lebih edukatif. Acara ini pun menjadi ajang pertukaran pengetahuan dan memperkaya cara pandang antarpenyumpit dari berbagai daerah.
Acara ini menjadi pengingat bahwa budaya tak mati selama ada yang merawatnya. Di tengah gempuran digitalisasi, warisan seperti menyumpit justru mendapat tempat baru sebagai pembentuk karakter, penguat komunitas, dan pengantar nilai-nilai luhur.

Bagi Kutim, acara ini sekaligus menjadi cermin bahwa pelestarian budaya bisa tumbuh dari ruang-ruang kecil yang bermakna. Halaman kantor dinas, pertemuan komunitas, dan semangat bersama. Harapan yang tertanam di ujung sumpit hari itu adalah agar kegiatan serupa bisa menjalar ke kabupaten dan kota lain, menyulut kesadaran bahwa tradisi bukan beban masa lalu, melainkan fondasi masa depan. (kopi5/kopi13/kopi3)