Kepala DPPKB Kutim Achmad Junaidi. Foto: Dewi/Pro Kutim
SANGATTA – Angka keluarga berisiko stunting (KRS) di beberapa kecamatan Kutai Timur (Kutim) terpantau masih kecil. Namun, hal itu bukan berarti wilayah tersebut aman dari risiko stunting. Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPKB) Kutim Achmad Junaidi mengingatkan, rendahnya angka KRS bisa disebabkan belum optimalnya proses pendataan di lapangan.
“Jangan salah tafsir, kecilnya angka KRS belum tentu karena wilayahnya bebas risiko. Bisa jadi karena pendataannya belum jalan,” ujarnya.
Menurutnya, hingga kini masih ada kecamatan yang belum memiliki Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) aktif. Akibatnya, data yang ada baru bersumber dari laporan masyarakat, bukan hasil pendataan langsung.
“Banyak kendala di lapangan. Tim Pendamping Keluarga (TPK) kami sering ditolak saat mendata warga. Ada yang enggan menunjukkan Kartu Keluarga, bahkan menolak didata karena takut datanya disalahgunakan,” jelasnya.
Untuk itu, ia menilai perlu inovasi agar masyarakat justru bersemangat didata. Salah satu strategi yang akan ditempuh adalah mengaitkan pendataan dengan manfaat langsung bagi keluarga, seperti akses bantuan sosial atau fasilitas dasar.
“Kalau keluarga tahu manfaatnya didata misalnya bisa dapat bantuan jamban, PMT, atau program air bersih mereka akan berlomba-lomba ingin didata,” katanya.
Ia menambahkan, ke depan TPK juga akan dibekali identitas resmi seperti seragam, ID card, dan surat tugas agar masyarakat mudah mengenali petugas resmi di lapangan. Saat ini, jumlah TPK Kutim mencapai 528 orang yang tersebar di seluruh desa dan kelurahan, namun jumlah itu dinilai belum sebanding dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk.
Kendala lain, menurutnya, juga muncul karena unsur TPK yang wajib melibatkan tiga elemen yakni bidan, kader PKK, dan kader masyarakat.
“Tidak semua desa punya bidan dan kader PKK yang cukup. Ini juga jadi tantangan,” katanya.
Namun ia optimistis, dengan hadirnya program Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman berupa dana Rp 250 juta per RT, sinergi pendataan bisa diperkuat. Dana tersebut membuka peluang bagi pendamping di tingkat RT untuk dilibatkan sebagai enumerator atau petugas bantu pendataan keluarga.
“Pendamping RT bisa kita latih agar paham cara mendata keluarga berisiko stunting. Data ini nanti juga akan kami sinergikan dengan BPMD,” tambahnya.
Rencananya, pada Kamis mendatang DPPKB bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) akan menggelar bedah Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2025 tentang penggunaan dana RT melalui siaran langsung YouTube Bangga Rencana Mitra. Hasilnya akan dibagikan kepada camat, kepala desa, hingga forum RT agar memahami mekanisme penggunaan dana tersebut.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya data agregat KRS sebagai dasar intervensi berbagai program pemerintah. Contohnya, saat ditemukan ada 2.781 keluarga membutuhkan jamban, data itu dapat dikolaborasikan dengan program Rehab Rumah Layak Huni (Bedah Rumah) milik Bupati Kutim.
“Kalau program bupati hanya bisa bangun seribu rumah, sisanya bisa dikerjasamakan lewat perusahaan, BAZNAS, Dinas Kesehatan, atau masyarakat dermawan. Itulah makna kolaborasi,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan, data KRS merupakan data yang sangat berharga dan telah diverifikasi dua kali setahun melalui aplikasi SIGA LC Mall. Untuk menjaga validitas data, ia bahkan mendorong media ikut turun melakukan uji petik lapangan.
“Kalau ragu dengan data, ayo cek ke lapangan. Coba pilih acak satu-dua nama di data, tanyakan ke warga apakah pernah didatangi petugas. Ini bagian dari cek and balances agar petugas kita benar-benar bekerja, bukan sekadar mengisi data dari rumah,” tegasnya.
Ia mencontohkan, dari hasil uji petik di lapangan, banyak ditemukan persoalan yang menjadi pemicu risiko stunting, mulai dari rumah tanpa jamban, sumber air tidak layak, hingga pasangan usia subur yang tidak ber-KB karena faktor agama.
“Dari satu data saja, kita bisa tahu program apa yang dibutuhkan keluarga itu. Tapi syaratnya, warga harus mau didata dan tentu harus warga Kutim,” katanya.
Menanggapi pertanyaan media tentang pendataan warga non-Kutim, ia menjelaskan bahwa setiap penduduk yang sudah tinggal lebih dari enam bulan wajib didata, sesuai aturan kependudukan nasional.
“Kalau sudah enam bulan tinggal di wilayah kita, wajib didata dan berhak mendapatkan pelayanan dasar, termasuk kesehatan,” ujarnya.
Ia menutup penjelasannya dengan menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dan inovasi lapangan melalui program Cap Jempol.
“Pelayanan jemput bola ini punya efek besar. Banyak warga dari luar yang datang karena merasa dilayani dengan baik. Ini bukti Kutim terus berinovasi menjaga hak dasar warganya,” pungkasnya.(kopi15/kopi13/kopi3)
































