Foto: Rosma/ Pro Kutim
SANGATTA – Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, sengketa lahan antara Yayasan Sangatta Baru (YSB) dan warga RT 04 Desa Singa Gembara, Kecamatan Sangatta Utara, akhirnya berujung damai. Momentum bersejarah itu terjadi pada Kamis (24/7/2025), ketika kedua belah pihak secara resmi menandatangani Berita Acara Kesepakatan di Ruang Arau, Lantai 2 Kantor Bupati Kutim.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Bupati (Wabup) Kutim H Mahyunadi, disepakati bahwa Yayasan Sangatta Baru bersedia melepaskan lahan seluas 90.168 meter persegi kepada warga, sebagai bentuk penyelesaian damai atas klaim yang telah berlangsung bertahun-tahun. Lahan tersebut sebelumnya masuk dalam area Hak Guna Bangunan (HGB) milik yayasan, namun berdasarkan hasil identifikasi lapangan oleh Kantor Pertanahan Kutim pada 22 Mei 2025, areal itu dinyatakan menjadi bagian dari kawasan permukiman warga RT 04.
Tak hanya itu, YSB juga menunjukkan iktikad baik dengan menghibahkan tambahan 5.000 meter persegi lahan kepada Pemerintah Desa Singa Gembara. Lahan hibah ini rencananya akan digunakan untuk pembangunan pusat kawasan perkantoran desa.

“Pemerintah merasa perlu hadir untuk menengahi dan menyelesaikan konflik lahan ini. Dengan adanya kesepakatan hari ini, kami berharap tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi warga dan yayasan, tetapi juga menjaga stabilitas sosial dan mempercepat proses legalisasi lahan masyarakat,” ujar Mahyunadi usai rapat.
Mahyunadi menambahkan bahwa penyelesaian ini sepenuhnya didasarkan pada hasil pemetaan dan verifikasi faktual di lapangan. Sehingga menghindari potensi konflik berlarut yang bisa mengganggu ketertiban umum dan pembangunan kawasan.
Sengketa ini bermula dari klaim warga RT 04 Desa Singa Gembara yang merasa telah menempati lahan tersebut selama bertahun-tahun, namun kemudian digugat masuk dalam area HGB milik YSB. Ketegangan memuncak hingga masyarakat membentuk Forum Perjuangan Warga Rukun (FPR) sebagai wadah perjuangan legalitas lahan.
Melalui sejumlah mediasi dan pendampingan hukum, termasuk verifikasi bersama oleh Kantor Pertanahan dan perangkat daerah, akhirnya ditemukan titik terang. Pemetaan faktual di lapangan menjadi landasan utama tercapainya mufakat ini.
Kesepakatan yang ditandatangani pada 24 Juli 2025 ini turut dihadiri oleh sejumlah tokoh penting. Antara lain Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Kabupaten Poniso Suryo Renggono, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Trisno, Camat Sangatta Utara Hasdiah, serta Kepala Desa Singa Gembara Hamriani Kassa.

Dari pihak YSB, Ketua Umum Pengurus Yayasan Dr Wiwin Sujati, hadir langsung dan ikut menandatangani dokumen kesepakatan. Pihak Kantor Pertanahan Kutim juga diwakili oleh Plt. Kepala Seksi Survei dan Pemetaan, Budi Handoko.
Pascakesepakatan, pihak YSB menyatakan akan segera mengurus status lahan tersisa seluas 147.711 meter persegi untuk proses penyesuaian administrasi HGB. Sedangkan warga RT 04 kini bisa melanjutkan proses legalisasi lahan hunian mereka ke jalur pertanahan resmi, tanpa bayang-bayang gugatan hukum.
Langkah Yayasan Sangatta Baru untuk melepaskan sebagian lahannya dinilai sebagai bentuk kedewasaan kelembagaan yang patut diapresiasi. Dalam suasana nasional yang kerap diwarnai konflik agraria berkepanjangan, penyelesaian ini bisa menjadi contoh praktik resolusi konflik secara bermartabat dan berkelanjutan.
Dengan kesepakatan damai ini, tidak hanya hak atas tanah yang mendapat kejelasan, tetapi juga harapan masyarakat akan pembangunan desa yang lebih terencana. Hibah 5.000 meter persegi untuk kantor desa diyakini menjadi langkah strategis membangun pusat layanan publik yang lebih representatif.

“Ini bukan hanya soal tanah, tetapi tentang rasa aman, keadilan, dan masa depan. Kami bersyukur karena suara warga akhirnya diakui. Perjuangan ini adalah hasil dari kebersamaan dan kesabaran,” ujar salah satu perwakilan FPR seusai penandatanganan kesepakatan.
Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman, meski tidak hadir langsung dalam rapat, sebelumnya telah menyatakan komitmen Pemerintah Kabupaten untuk memfasilitasi dan menyelesaikan konflik lahan demi menciptakan kepastian hukum di daerah.
Dalam situasi di mana sengketa lahan kerap kali berujung pada kriminalisasi atau konflik horizontal, penyelesaian damai seperti ini menjadi oase yang menyejukkan. Damai di Singa Gembara menunjukkan bahwa dengan niat baik, dialog, dan peta yang jelas, bahkan konflik paling rumit pun bisa diselesaikan tanpa pertumpahan darah, cukup dengan pena dan kesepahaman. (kopi16/kopi3)