Rembuk Budaya ini digagas oleh OSIS SMA Prima YPPSB sebagai ruang dialog dan praktik kebudayaan. (Ist)
SANGATTA – Di tengah gelombang digitalisasi dan arus globalisasi yang terus menggulung budaya lokal, sekelompok pelajar di Sangatta, Kutai Timur (Kutim) menggelar perhelatan penting yang menyalakan kembali semangat pelestarian budaya, Minggu (17/5/2026). Forum bertajuk Rembuk Budaya ini digagas oleh OSIS SMA Prima YPPSB sebagai ruang dialog dan praktik kebudayaan, melibatkan ratusan siswa dari 10 SMP dan SMA di kota tambang tersebut.
Kegiatan yang digelar di Rumah Jabatan Bupati Kutim di Bukit Pelangi ini bukan sekadar seremoni atau perayaan simbolik. Di baliknya, tersimpan upaya kolektif membangun kesadaran pelajar terhadap warisan budaya lokal Kutai dan Dayak yang semakin terdesak oleh budaya populer dan minimnya regenerasi pelestari. Didukung oleh Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kutim, Rembuk Budaya menjadi arena dialog antargenerasi yang menyentuh aspek historis, linguistik, hingga filosofi hidup masyarakat lokal.
“Ini langkah konkret dan inspiratif dari generasi muda. Kami bangga dan siap mendampingi kegiatan serupa di masa mendatang,” ujar Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kutim Padliyansyah.

Ia juga mengapresiasi SMA Prima YPPSB serta para guru dan yayasan yang memfasilitasi kegiatan tersebut, seraya menyampaikan bahwa pelibatan Rumah Jabatan Bupati menjadi simbol dukungan penuh pemerintah terhadap pelestarian budaya sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Rembuk Budaya dibagi menjadi dua sesi utama. Sesi pertama bertema “Aksara dan Bahasa Kutai” memberi perhatian terhadap pentingnya pelestarian bahasa daerah sebagai jantung kebudayaan. Encek Abdul Gaffar, tokoh adat Kutai, bersama Nisma Mawardah, guru sekaligus penulis yang aktif mendokumentasikan bahasa lokal, memantik diskusi dan praktik kreatif bersama para peserta.
Bukan hanya mendengar, para siswa diajak menginterpretasi lagu berbahasa Kutai, menulis puisi dan cerpen dengan muatan lokal, hingga membuat video pendek bertema kehidupan masyarakat Kutai. Poster-poster kampanye pelestarian bahasa pun digambar tangan, penuh warna dan makna, seakan menjadi penegas bahwa budaya bukan benda mati, melainkan denyut hidup yang bisa dipelajari, diolah, dan diwariskan.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin mengajak pelajar lain untuk tidak hanya tahu budaya, tapi terlibat menjaga dan menghidupkannya,” ungkap Ketua Panitia Rembuk Budaya dari OSIS SMA Prima YPPSB.

Baginya, pelestarian budaya adalah bentuk tanggung jawab generasi terhadap identitasnya sendiri.
Sesi kedua mengangkat tema “Kearifan Lokal Budaya Dayak.” Menghadirkan Indra Bengeh, Kepala Adat Besar Dayak Kalimantan Timur–Kalimantan Utara. Peserta diajak menyelami nilai-nilai hidup masyarakat Dayak yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan roh leluhur.
Melalui praktik simbolis seperti simulasi upacara pernikahan adat dan ritual tolak bala, para siswa tidak hanya menyaksikan, tetapi turut mengalami ritual dengan alat-alat sederhana. Kegiatan ini membuka mata pelajar akan kedalaman filosofi Dayak, dari gotong royong hingga penghormatan terhadap leluhur sebagai bagian dari sistem nilai yang lestari.
Apa yang dilakukan OSIS SMA Prima YPPSB bukan sekadar kegiatan ekstrakurikuler. Rembuk Budaya adalah respons atas kegelisahan akan pudarnya kesadaran budaya di kalangan pelajar. Tingginya antusiasme peserta serta dukungan instansi pemerintahan menunjukkan bahwa gairah untuk mengenal akar budaya belum padam, hanya perlu ruang dan waktu untuk dihidupkan kembali.
Kegiatan ini diharapkan menjadi agenda tahunan yang bukan hanya membanggakan sekolah, tetapi juga berkontribusi nyata dalam pembangunan karakter dan jati diri generasi muda Kutim. Ketika pelajar mulai berbicara tentang budaya dengan bangga, di situlah peradaban lokal menemukan napas barunya. Dan Rembuk Budaya di Sangatta telah membuktikan, bahwa masa depan budaya bisa lahir dari tangan para pelajar yang berpikir dan bertindak hari ini. (kopi3)


































