YOGYAKARTA – Stabilnya produksi minyak nasional yang menembus sekitar 607 ribu barel per hari hingga Oktober 2025 menjadi sinyal kebangkitan bagi industri migas Indonesia. Setelah bertahun-tahun berada di bawah target, capaian ini menghadirkan optimisme baru bagi ketahanan energi nasional.
Namun, di balik angka yang tampak menggembirakan itu, mengalir harapan dari daerah penghasil migas, seperti Kutai Timur (Kutim) di Kalimantan Timur (Kaltim), agar lonjakan produksi tak berhenti pada statistik nasional semata, tetapi juga menghadirkan manfaat konkret bagi masyarakat di sekitar wilayah eksplorasi.

Kaltim yang selama ini dikenal sebagai salah satu penyangga utama produksi migas Indonesia, menilai capaian lifting bukan sekadar kebanggaan industri, melainkan momentum untuk menata ulang keseimbangan antara kontribusi daerah dan hasil yang dirasakan rakyatnya.
Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud, mengapresiasi pencapaian tersebut sekaligus menegaskan pentingnya sinergi pembangunan agar manfaat sumber daya alam tak berhenti di hulu.
“Kaltim selalu menjadi bagian penting dalam menjaga pasokan energi Indonesia. Tapi kami juga ingin memastikan, masyarakat di sekitar wilayah produksi ikut merasakan manfaatnya, baik lewat pembangunan infrastruktur energi maupun peningkatan SDM lokal,” ujarnya di Upstream Oil and Gas Executive Meeting Wilayah Kalimantan dan Sulawesi 2025 yang berlangsung di Yogyakarta, Rabu-Kamis (29-30/10/2025)
Pandangan serupa disampaikan Tenaga Ahli Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bidang eksplorasi dan peningkatan produksi migas sekaligus Ketua Satgas Percepatan Lifting Migas Nanang Abdul Manaf. Menurutnya, capaian saat ini merupakan sinyal positif menuju target ambisius pemerintah, 1 juta barel per hari pada 2030.

“Dengan lifting minyak sudah mencapai target 605-607 ribu barel per hari, kita semakin dekat pada target jangka panjang 1 juta barel per hari di 2030. Tantangannya adalah memastikan peningkatan produksi ini berbanding lurus dengan ketersediaan energi di dalam negeri,” ungkapnya.
Secara nasional, kebutuhan minyak Indonesia mencapai sekitar 1,4 juta barel per hari. Produksi dalam negeri baru memenuhi sekitar 40 persen, sementara sisanya masih bergantung pada impor. Terutama untuk sektor transportasi dan industri.
Kesenjangan inilah yang paling dirasakan oleh daerah penghasil seperti Kutim. Di wilayah yang menjadi jantung produksi, pasokan energi lokal justru belum sepenuhnya merata. Banyak kawasan pesisir dan pedalaman masih menghadapi keterbatasan listrik maupun bahan bakar.
Karena itu, pemerintah daerah menilai momentum kenaikan lifting harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur distribusi energi. Berikut fasilitas pengolahan gas dan peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam industri hulu.

Asisten Administrasi Umum Sekretaris Kabupaten Kutim Sudirman Latief, yang mewakili Bupati dalam forum Hulu Migas Wilayah Kalimantan dan Sulawesi, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menjembatani kepentingan nasional dan daerah.
“Daerah siap mendukung target nasional, tapi kita juga berharap ada kebijakan yang memastikan energi hasil bumi daerah kembali memberi daya bagi masyarakat lokal,” tuturnya.
Dengan produksi nasional yang mulai stabil, Kutim dan daerah penghasil lainnya berharap agar energi yang keluar dari perut bumi mereka juga menerangi rumah-rumah di sekitarnya. Sebab, keberhasilan sektor migas sejatinya tidak hanya diukur dari angka lifting yang terus naik, melainkan dari sejauh mana ia mampu menyalakan harapan dan kesejahteraan di tanah tempatnya lahir. (kopi4/kopi3)


































