Beranda Kutai Timur Laung Kuning, Tradisi Mengikat, Spirit yang Menyala di Tanah Kaubun

Laung Kuning, Tradisi Mengikat, Spirit yang Menyala di Tanah Kaubun

197 views
0

Wakil Bupati Kutim, H. Mahyunadi bersama warga Banjar di Desa Bumi Rapak, Kecamatan Kaubun. Foto: Rusli/ Pro Kutim

KAUBUN – Di tengah arus zaman yang terus berubah, ribuan warga Banjar dari berbagai penjuru Kalimantan berkumpul dalam satu semangat di Gedung Serba Guna (GSG) Desa Bumi Rapak, Kecamatan Kaubun, Kutai Timur (Kutim), Sabtu, (26/7/2025). Mereka datang bukan sekadar berkumpul. Mereka datang untuk merawat akar, menyulam kembali tenun persaudaraan, dan meneguhkan identitas melalui ritual adat yang sarat makna. Sebuah tradisi panjang yang diwariskan dari para leluhur, Bapalas, Baparbaik, dan Batapung Tawar.

Di bawah panji organisasi budaya Laung Kuning Banjar, tradisi ini kembali dihidupkan. Pakaian adat serba kuning mendominasi ruangan. Warna ini bukan sekadar simbol, melainkan pernyataan, kuning sebagai lambang kemuliaan, keberanian, dan keteguhan. Tema yang diusung pun tak main-main. “Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing” yang berarti pantang menyerah sampai titik akhir. Bukan seremoni semata, acara ini adalah cermin dari kekuatan budaya sebagai jangkar identitas dan perekat sosial. Ia hidup, karena dihidupi. Ia bertahan, karena dicintai.

Rangkaian kegiatan dimulai dengan penyambutan tamu kehormatan secara adat Banjar di halaman GSG. Di tengah iringan musik tradisional dan doa-doa, hadir langsung Wakil Bupati Kutai Timur (Wabup Kutim) H Mahyunadi mewalili Bupati. Ia mengenakan ikat kepala Laung Kuning, atribut kehormatan budaya Banjar dan turut mengikuti seluruh prosesi dengan khidmat.

“Acara ini bukan sekadar ritual seremonial, tetapi bukti nyata cinta terhadap warisan budaya. Saya bangga dengan semangat masyarakat Banjar yang tetap teguh menjaga tradisi ini,” ujar Mahyunadi dalam sambutannya.

Ia percaya bahwa dengan terus melestarikan budaya seperti ini, warga Banjar tidak hanya menjaga akar sejarah, tapi juga memperkuat ikatan sosial dan membangun bangsa yang tangguh dan berkarakter.

Di tengah prosesi, sebuah simbol penting diserahkan kepada Wabup, sebilah parang Lais. Benda ini bukan sekadar alat, melainkan lambang kepercayaan, restu, dan kekuatan spiritual yang diwariskan dari tokoh adat kepada pemimpin.

Tak lama kemudian, puncak acara dimulai. Di bawah tuntunan Abah Guru Muhammad Rusli, ritual Tapung Tawar dilangsungkan. Air suci dipercikkan ke arah peserta, dibarengi doa dan lantunan shalawat. Tradisi ini diyakini sebagai pembersih jiwa, penolak bala, dan pengundang keberkahan dalam hidup bermasyarakat.

Ketua Umum Laung Kuning Banjar Abdul Somad, menyampaikan rasa harunya atas semangat warga yang datang tidak hanya dari Kutim, tetapi juga dari Samarinda, Balikpapan, hingga Kalimantan Selatan.

“Ini adalah bukti kekompakan masyarakat Banjar. Kita bersatu untuk menjaga adat, seni, dan jati diri budaya kita,” ujarnya.

Ia melanjutkan dengan suara bergetar bahwa warisan budaya ini adalah identitas sekaligus kekuatan. Melalui kegiatan seperti ini, “bubuhan” (warga) Banjar mewariskannya dengan penuh hormat kepada anak cucu.

Acara ini bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang masa depan. Generasi muda yang hadir di tengah prosesi menjadi saksi dan pewaris. Mereka belajar dari prosesi ini, bahwa adat bukan beban warisan, melainkan sumber kekuatan untuk menghadapi tantangan zaman.

Organisasi Laung Kuning Banjar pun terus berkomitmen menjadi ruang inklusif, yang tidak hanya menjaga adat, tetapi juga menyatukan warga Banjar lintas wilayah dan generasi. Dalam atmosfer semarak dan penuh makna, ritual demi ritual dijalani dengan khusyuk, menandai keteguhan sebuah komunitas dalam menjaga warisan yang tak ternilai.

Di Kaubun, pada hari itu, tradisi bukanlah nostalgia yang usang. Ia hadir sebagai nyala semangat, sebagai suluh yang menerangi jalan kebersamaan. Dalam tiap Tapung Tawar, dalam tiap hela napas doa, dalam tiap sabetan simbolik parang Lais, terpatri pesan bahwa masyarakat Banjar tidak akan menyerah, tidak akan tercerai, dan tidak akan kehilangan arah. Tradisi hidup karena dijalani. Budaya bertahan karena dicintai. Dan persaudaraan menguat karena dirawat.

Laung Kuning adalah bukti bahwa di balik pakaian kuning dan ritual sakral, ada cinta yang mengakar, ada keyakinan yang menjulang, dan ada harapan yang terus menyala untuk tanah, leluhur, dan masa depan. (kopi8/kopi4/kopi3)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini