Rapat yang melibatkan Pengurus Masjid Agung Al Faruq, Distan dan Disperindag Kutim membahas isu PMK dan dampaknya jelas hari raya Iduladha. (ist)
SANGATTA- Pengurus Masjid Agung Al Faruq Kutim terus berbenah menghadapi Hari Raya Iduladha 1443 Hijriah. Jelang hari raya kurban tahun ini, panitia kurban Masjid Agung Al Faruq mulai berbenah dan mempersiapkan diri sebagai upaya optimalisasi pelayanan terhadap umat. Apalagi Masjid Agung Al Faruq merupakan masjid yang pengelolaannya langsung di bawah Pemerintah Daerah. Sudah tentu harus dapat memberikan contoh bagi lainnya.
Dalam upaya optimalisasi tersebut, berbagai aspek terkait pelaksanaan kurban harus jadi sumber dan referensi dalam menetapkan kebijakan besaran kurban yang akan menjadi tanggungan “shohibul kurban”. Satu problematika kurban di 1443 H ini adalah munculnya isu wabah penyakit mulut dan kuku (PMK), pada hewan berkuku belah seperti sapi dan kambing. Karena dua binatang ini umum dijadikan sebagai hewan kurban, maka perlu adanya kajian yang memadai. Karena nilai keekonomian kurban harus ditetapkan agar tidak terjadi kesimpangsiuran besaran nilai.
“Dalam proses pengambilan kebijakan sementara, pengurus Masjid Agung Al Faruq mengundang instansi terkait yang membidangi kesehatan hewan dan perkiraan nilai jual hewan kurban. Yaitu Dinas Pertanian (Distan), serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag),” Sekretaris Pengurus Masjid Agung Al Faruq Yakub Fadillah, belum lama ini.
Bersama pengurus Masjid Agung Al Faruq, Kadis Pertanian Dyah Ratnaningrum hadir didampingi drh Ririn. Sedangkan dari Disperindag diwakili Sub Koordinator Perdagangan Dalam Negeri Ahmad Doni Evriadi. Rapat ini tentunya untuk mendengarkan pendapat dari instansi terkait tentang wabah PMK pada hewan qurban dan dampak keekonomian.
Kadistan Kutim Diyah Ratnaningrum menjelaskan, PMK ini sangat berpotensi mengganggu proses pengadaan hewan kurban di Kaltim, tak terkecuali Kutim. apalagi selama ini hewan kurban sebagian didatangkan dari luar Kaltim. Sangat berpotensi menciptakan lonjakan harga jelang Iduladha. Saat ini distribusi hewan kurban terutama sapi dan kambing dibatasi dan harus melalui proses karantina selama 14 hari. Sementara hanya dua provinsi yang belum melakukan pembatasan yaitu Bali dan NTB (Sumbawa).
“Harapannya tentunya ada formula dan peluang dari daerah lain juga yang dapat didatangkan ke Kaltim,” harapnya.
Sementara drh Ririn menjelaskan pentingnya SOP penanganan hewan kurban. Karena wabah PMK pada hewan berkuku belah ini sebenarnya tidak berbahaya bagi manusia. Namun orang yang menangani hewan, apabila terkena wabah dapat menjadi “carrier” bagi hewan kurban yang sehat.
“Sehingga wabah hewan berkuku belah bisa terjadi pascapelaksanaan kurban yang tentunya akan merugikan para peternak di daerah kita. Salah satu SOP yang harus diterapkan adalah pergantian petugas atau pergantian pakaian petugas penanganan hewan di kandang agar tidak menyebar kemana-mana. Juga perlu adanya physical distancing bagi hewan kurban saat pemeliharaan,” katanya.
Adapun hewan qurban jenis sapi yang paling banyak terkena wabah adalah hewan berukuran besar seperti sapi. Sementara hewan jenis sapi Bali masih dianggap lebih aman untuk dijadikan pilihan kurban. Panitia Kurban Masjid Agung disarankan untuk memeriksakan hewan yang akan disembelih oleh panitia.
Sementara itu dari Disperindag Ahmad Doni Evriadi menyampaikan bahwa potensi kenaikan harga hewan kurban sangat mungkin terjadi. Merujuk pada paparan Distanak. Maka tentu panitia kurban perlu teliti dalam menetapkan harga. Sebab saat ini, sapi besar dengan dengan ukuran 500 Kg (berat kotor) dengan standar keekonomian Rp 60.000 bisa mencapai Rp 30 juta per ekor.
“Dengan ukuran ini, tahun lalu saat kurban, rata-rata bernilai Rp 40 juta per ekornya. Dengan asumsi daging kurban bersih kisaran 150-200 Kg. Sedangkan sapi bali kecil dengan berat kotor 200 Kg dengan standar Rp 60.000 per Kg. Dengan asumsi daging kurban bersih rata-rata 60-80 Kg bernilai Rp 12 juta per ekor dan saat masa kurban tiba, pasaran (harga) Rp 17-19 juta per ekornya,” sebut Doni. (*/kopi3)