Wakil Bupati Mahyunadi kroscek lapangan temukan harga elpiji melonjak tinggi. Foto: Habibah/Pro Kutim
MUARA ANCALONG – Suara keluh kesah terdengar dari pelosok Kecamatan Muara Ancalong, Kutai Timur (Kutim). Di wilayah yang dikelilingi rimba dan rawa, harga isi ulang gas elpiji 3 kilogram kini menembus angka yang mengejutkan, Rp100 ribu per tabung. Lonjakan yang tak hanya menguras dompet, tapi juga menekan sendi-sendi hidup masyarakat pedalaman yang rata-rata berpenghasilan pas-pasan.
Kenaikan harga ini bukan semata akibat kelangkaan pasokan, melainkan buah dari persoalan yang lebih dalam. Yakni infrastruktur rusak parah, terutama pada jalur distribusi utama menuju Desa Senyiur. Jalan poros Kelinjau Ulu yang mestinya menjadi urat nadi logistik, kini menjelma menjadi medan lumpur saat hujan dan lautan debu kala kering.
Situasi tersebut mendapat perhatian langsung dari Wakil Bupati Kutim Mahyunadi, yang melakukan inspeksi mendadak pada Senin (5/5/2025). Ia menyusuri jalan poros rusak yang selama ini menjadi tumpuan pengangkutan logistik ke desa-desa di hulu Kutim, ditemani oleh Camat Muara Ancalong Harun Al Rasyid.
Di tengah perjalanan yang melelahkan itu, Mahyunadi menerima langsung keluhan dari warga dan kepala desa yang gagal hadir dalam rapat koordinasi lantaran terjebak lumpur selama berjam-jam.

“Warga mengeluhkan harga isi ulang elpiji 3 kg bisa sampai Rp100 ribu per tabung. Ini sangat membebani, terutama bagi masyarakat pedalaman yang penghasilannya terbatas,” ujar Mahyunadi di atas jalanan becek.
Menurut warga, harga gas melonjak drastis karena biaya distribusi yang membengkak. Jalan rusak membuat perjalanan pengangkut gas jadi lambat dan berisiko. Truk-truk harus menempuh waktu lebih lama, dengan ancaman mogok atau kerusakan berat akibat medan ekstrem. Semua ongkos tambahan itu akhirnya ditimpakan ke konsumen. Tak hanya elpiji, bahan pokok lain pun mengalami kenaikan harga signifikan. Di desa-desa terpencil, daya beli warga terus melemah.
Ruas jalan poros Kelinjau Ulu-Senyiur sebagian besar berada dalam kondisi rusak berat. Saat hujan, truk pengangkut terperangkap lumpur hingga berjam-jam. Sementara saat panas, jalan menjadi gersang dan berdebu, menyulitkan kendaraan dan membahayakan pengendara motor.
Beberapa kepala desa yang ingin menghadiri pertemuan dengan Wabup di Muara Ancalong pun gagal hadir. Mereka akhirnya bisa menyampaikan aspirasi saat Wabup berinisiatif mendatangi lokasi jalan rusak yang kebetulan menjadi arena “off road” para kades.
“Kami sudah lama menanti. Semoga kali ini benar-benar ada tindakan nyata, bukan sekadar seremonial. Jangan juga karena ada Wakil Bupati perusahaan bilang iya iya, tapi begitu tidak ada, ya tidak ada eksekusi,” ujar salah seorang kepala desa dengan nada ketus.
Mahyunadi, dalam respons cepatnya, menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan perusahaan sekitar. Ia meminta agar perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar jalur tersebut segera turun tangan menggunakan dana CSR mereka untuk mempercepat perbaikan jalan.
“Jalan dan jembatan poros ini adalah urat nadi distribusi barang. Segera perbaiki, jangan menunggu cuaca baik, jangan menunggu panas. Saya ingin Mei ini sudah bisa dilewati,” tegasnya.
Pemkab Kutim sendiri mengakui keterbatasan anggaran untuk mengatasi seluruh titik kritis infrastruktur secara bersamaan. Oleh sebab itu, pendekatan tanggap darurat melalui CSR dinilai sebagai opsi realistis untuk menjawab kebutuhan mendesak warga.

Masalah di Muara Ancalong bukan hanya tentang aspal dan jembatan. Ini tentang bagaimana kebijakan dan pembangunan bisa menjangkau mereka yang hidup jauh dari pusat pemerintahan. Ketika harga elpiji menjadi simbol ketimpangan distribusi, maka krisis ini menjadi pengingat bahwa infrastruktur adalah soal keadilan, bukan sekadar proyek.
Warga berharap, setelah kunjungan Wabup, bukan hanya jalan yang berubah. Mereka ingin pemerintah hadir lebih dari sekadar janji. Mereka ingin asap dapur kembali mengepul, tanpa dihantui harga gas yang tak masuk akal. (kopi10/kopi13/kopi3)