Kunjungan Pemkab Kutim ke TPST BLE Banyumas, Wakil Bupati Mahyunadi pun terkesan dari pengolahan sampah di sini menghasilkan paving block bernilai jual. Foto: Irfan/Pro Kutim
SANGATTA — Pada satu siang yang penuh harapan, Wakil Bupati Kutai Timur Mahyunadi, menyimak dengan saksama paparan mengenai pengelolaan sampah modern berbasis edukasi di Banyumas. Paparan disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) Banyunas Widodo Sugiri, mewakili Bupati Banyumas Sadewo Trilastiono. Bukan hanya karena kagum, tetapi juga karena melihat peluang besar yang bisa ditransformasi untuk wilayahnya sendiri. Kunjungan kerjanya ke TPST-BLE (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu – Berbasis Lingkungan Edukasi) Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (16/4/2025), mengungkap potensi luar biasa dari sampah yang selama ini hanya dianggap limbah.
Pada awal berdirinya di tahun 2021, TPST-BLE Banyumas hanya menghasilkan pendapatan sekitar Rp1 miliar per tahun. Namun, dalam kurun waktu tiga tahun, angka itu melonjak drastis menjadi Rp4 miliar pada 2024. Bahkan, pada 2025 ini, ditargetkan mampu menyentuh angka Rp12 miliar. Lonjakan ini bukan semata karena peningkatan volume sampah yang diolah, tetapi juga karena sistem yang dibangun, tepat guna, efisien, dan melibatkan masyarakat.

Tak kurang dari 1.500 tenaga kerja terlibat di dalam ekosistem pengelolaan TPST-BLE. Mereka tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang menjalankan berbagai fungsi, mulai dari pemilahan sampah, produksi kompos, hingga manajemen bank sampah. Model ini tidak hanya menyerap tenaga kerja lokal, tetapi juga menciptakan rantai ekonomi baru yang berbasis keberlanjutan.
Melihat hasil nyata itu, Mahyunadi menyatakan komitmennya untuk membawa konsep serupa ke Kutai Timur.
“Untuk dananya sudah disiapkan. Sementara lokasinya akan kita inventarisasi bersama tim terkait. Tidak perlu lama-lama. Sudah ada bukti nyata. Paling lambat 2026 sudah bisa beroperasi,” tegasnya.

Ia memaparkan bahwa untuk skala seperti TPST-BLE, investasi awal yang dibutuhkan berkisar Rp50 miliar dengan luas lahan 2 hingga 3 hektare.
Mahyunadi tak hanya membawa pulang inspirasi, tapi juga tekad. Ia berencana segera melaporkan hasil kunjungan ini kepada Bupati Ardiansyah dan segera menjalin koordinasi dengan instansi terkait. Visi yang dibawanya bukan sekadar soal pengelolaan sampah, tetapi soal membangun masa depan Kutai Timur yang lebih mandiri, sehat, dan sejahtera. Baginya, wilayah yang bersih dan tertata bukan sekadar perkara estetika. Ia menyebutnya sebagai fondasi pembangunan daerah.
“Wilayah yang bersih menciptakan kesan positif, mendorong pertumbuhan sektor pariwisata, meningkatkan nilai properti, dan menarik minat investasi,” ungkapnya.
Pernyataan itu bukan sekadar slogan. Dengan tata kelola yang modern, sampah yang dulunya beban bisa menjadi berkah. Pendapatan dari retribusi, penjualan hasil daur ulang, hingga pemanfaatan energi dari biogas organik, bisa memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi ketergantungan pada transfer pusat. Lebih jauh, Mahyunadi menekankan pentingnya pendekatan teknologi sirkular dalam pengelolaan sampah.
“Sampah organik bisa diolah jadi kompos atau biogas, sementara sampah anorganik seperti plastik, logam, dan kertas bisa dipilah dan dijual kembali. Ini bukan hanya menciptakan lapangan kerja, tapi juga menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat dan daerah,” paparnya.
Dengan dukungan regulasi dan peran aktif masyarakat, Mahyunadi percaya Kutai Timur bisa menapak jejak Banyumas dalam memajukan pengelolaan sampah yang terintegrasi. Tak hanya mengelola limbah, tetapi juga membangun ekosistem ekonomi baru yang lebih hijau dan mandiri.
Pembangunan TPST-BLE di Kutai Timur diharapkan tidak berhenti pada aspek fisik. Edukasi dan partisipasi warga menjadi kunci sukses, sebagaimana di Purwokerto. Lingkungan yang bersih, warga yang berdaya, dan daerah yang mandiri adalah fondasi masa depan yang lebih kuat.
Menilik apa yang dilakukan pemerintah daerah di Banyumas, sampah bukan lagi musuh. Ia telah berubah menjadi mitra pembangunan. Dan Kutai Timur, kini siap melangkah lebih jauh, menjadikan limbah sebagai sumber daya, bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk generasi yang akan datang. (kopi4/kopi3)