Wabup Mahyunadi saat menyampaikan sambutan di momen silaturahmi dengan DPC PPMI Kutim. Foto : Nasruddin/Pro Kutim
SANGATTA — Di tengah peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap 1 Mei, suara pekerja menggema dari Kutai Timur (Kutim). Bukan lewat aksi turun ke jalan, melainkan melalui dialog terbuka yang hangat dan strategis. Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Kutim memilih jalur silaturahmi sebagai ruang perjuangan.
Bertempat di Rumah Jabatan Wakil Bupati Kutim, Kamis (1/5/2025), Ketua DPC PPMI Kutim Tabrani, memimpin langsung rombongan buruh dalam audiensi bersama Wakil Bupati Kutim Mahyunadi. Di tengah suasana kekeluargaan, pembicaraan mengalir serius menyentuh akar-akar persoalan klasik ketenagakerjaan. Seperti upah minimum, pesangon, rekrutmen tenaga kerja lokal, hingga lemahnya pengawasan terhadap perusahaan pelanggar aturan.

“Kami hadir membawa keresahan. UU (Undang-Undang) Cipta Kerja diimplementasikan belum sepenuhnya berpihak pada buruh. Banyak perusahaan yang belum patuh pada Perda Ketenagakerjaan. Pemerintah dan DPRD harus hadir lebih tegas,” ujar Tabrani lugas.
Apa yang Disuarakan Buruh? Setidaknya ada tiga poin utama yang disampaikan PPMI dalam pertemuan ini. Yaitu pelaksanaan UU Cipta Kerja. Para buruh mengeluhkan penerapan aturan yang dianggap belum memberikan kepastian tentang besaran upah minimum serta sistem pesangon yang adil. Penegakan Perda Ketenagakerjaan, meski Perda telah ada, namun di lapangan, pelaksanaannya lemah. Tabrani menekankan perlunya pembentukan tim pengawas independen yang benar-benar bekerja, bukan hanya formalitas. Berikutnya komitmen terhadap Rekrutmen Lokal. PPMI meminta komitmen perusahaan dalam menerapkan rasio perekrutan 80 persen tenaga kerja lokal dan 20 persen dari luar daerah.
“Kami tidak menolak investasi, tapi harus berkeadilan. Jangan sampai anak-anak Kutim jadi penonton di kampung sendiri,” tambahnya.

Wabup Kutim Mahyunadi menerima aspirasi tersebut dengan kepala dingin. Ia bahkan membuka lebar pintu komunikasi sebagai jembatan antara pekerja dan pengambil kebijakan.
“Urusan tenaga kerja itu sebenarnya sederhana. Asal semua pihak konsisten dan tak ada yang ‘masuk angin’. Kutim hidup dari industri, dan buruh adalah nadi dari industri itu. Kalau mogok kerja tiga hari saja, terasa dampaknya,” ucap Mahyunadi.

Ia menegaskan bahwa Pemkab Kutim tidak akan berpihak pada perusahaan atau buruh, melainkan pada regulasi yang adil. Bila terjadi konflik, pemerintah siap menjadi mediator hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial.
“Kalau perlu bantuan hukum, kami akan dampingi. Tapi prinsipnya, kita selesaikan di meja musyawarah dulu,” tegasnya.

Kutim adalah daerah yang ditopang oleh sektor industri dan pertambangan. Stabilitas hubungan industrial adalah kunci keberlanjutan ekonomi daerah. Saat buruh tidak dilibatkan dalam perumusan atau evaluasi kebijakan ketenagakerjaan, potensi konflik menjadi besar. Apa yang dilakukan PPMI dan Mahyunadi ini menjadi model pendekatan baru, mengedepankan ruang dialog ketimbang eskalasi.

Silaturahmi ini diakhiri dengan sesi foto bersama. Namun, substansi dari pertemuan ini jauh dari seremoni semata. Komunikasi yang terjalin antara PPMI dan Pemkab Kutim diharapkan menjadi kanal tetap yang bisa dijaga. Bagi Tabrani dan kawan-kawan, ini bukan akhir perjuangan, tapi awal dari ruang negosiasi yang lebih bermartabat.
“Buruh di Kutim tidak hanya butuh didengar saat May Day. Kami ingin keterlibatan nyata dalam pembangunan,” tandas Tabrani. (kopi14/kopi13/kopi3)