Kenang-Kenangan : Kepala KPP Pratama Bontang menyerahkan plakat kepada Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman yang didampingi Kepala BPKAD Teddy Febrian (Foto Ronall J Warsa Pro Kutim)
SANGATTA -Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Kutai Timur bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bontang menyelenggarakan sosialisasi perpajakan bagi bendahara pengeluaran di lingkungan Pemkab Kutim berlangsung di Hotel Royal Victoria pada Selasa (24/5/2022) pagi.
Kegiatan dibuka oleh Bupati Ardiansyah Sulaiman dengan menghadirkan Kepala KPP Pratama Bontang Hanis Purwanto sebagai pemateri, hadir Kepala BPKAD Kutim Tedy Febrian, serta beberapa Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Adapun peserta kegiatan adalah bendahara pengeluaran dan operator pajak dari 57 (OPD) dan 18 Kecamatan se-Kutim.
Kepala KPP Pratama Bontang Hanis Purwanto menyebutkan pajak telah berlangsung sejak Indonesia berdiri. Sehingga pajak bentuknya wajib, memaksa, dan memang wajib untuk warga negara. Jika dulu wajib pajak adalah bendahara, maka saat ini instansi pemerintah jadi wajib pajak.

“Pajak adalah wajib, pajak tidak bersifat suka rela. KPP Pratama dan Bapenda tugasnya memaksa membayar pajak, tidak ada tawar menawar. Sudah disampaikan pula dalam UU Dasar 1945, pajak sudah dibuat aturannya oleh para pendiri bangsa. Membangun dan menjalankan roda pemerintahan membutuhkan pajak,” tegas Hanis Purwanto.
Sekarang ini setiap transfer ke daerah oleh Pemerintah Pusat yang pengeluarannya dikelola BPKAD. Mengharuskan adanya setoran pajak yang tertib dari para bendahara, setiap belanja harus memotong pajaknya untuk kemudian di setor. Tiap awal bulan berikutnya dilaporkan pada pihak BPKAD. Kemudian BPKAD melaporkan ke KPP Pratama, untuk Kutim masih ikut KPP Pratama Bontang mengingat disini hanya perwakilan.
Sementara itu Bupati Ardiansyah Sulaiman menyebutkan, kegiatan ini berkaitan dengan persoalan-persoalan perpajakan yang memang sangat-sangat tergantung kepada pekerjaan para bendahara. Terutama terkait dengan tugas pokok dan fungsinya.
Ia mengutip keterangan KPP Pratama Bontang sebelumnya, terkait masih ada uang sebesar Rp 20 miliar yang tertahan. Dikarenakan masih ada uang Rp 120 juta yang belum clear. Untuk itulah peran penting para bendahara membereskan pekerjaannya. Walau nilainya hanya Rp 120 juta, tetapi itu mempengaruhi dengan tidak ditransfernya uang sebesar Rp 20 miliar oleh Pemerintah Pusat ke Kutim.
“Tentu ini bukan jumlah uang yang sedikit, gara-gara uang sebesar Rp 120 juta. Untuk itu mohon BPKAD coba betul-betul didalami. Dimana dana pajak itu tertahan dan seterusnya. Supaya kita mampu untuk memanfaatkan anggaran yang sudah kita siapkan,” harapnya.
Disisi lain ada pula OPD yang terus bertugas untuk menggali sumber-sumber dana bagi Pemkab Kutim. Semisal hari ini (Senin, red) pihak Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) berada di Yogyakarta, untuk melakukan perhitungan lifting migas.
“Hal yang tidak gampang. Begitu kita mendengar kata lifting sederhana saja. Tetapi ketika kita tidak memiliki kemampuan menghitung sendiri. Hanya mendengar saja keputusan dari pemberi keputusan. Ya sudah, selesai,” jelas Ardiansyah Sulaiman.
Menurutnya yang terbaik adalah, Pemkab Kutim mampu dan wajib menghitung sendiri. Agar mengetahui berapa perbandingan sebenarnya. Termasuk pula lifting terkait tambang batu bara dan lain-lain. Berapa sebenarnya hak-hak yang didapatkan oleh Pemkab Kutim. Sesuai dengan peraturan yang didapatkan di Republik Indonesia, apalagi Kutim sebagai daerah penghasil.
Perhitungan lifting migas sejak dulu hingga sekarang seringkali jadi persoalan. Karena bagi daerah yang mampu menghitung, seringkali berselisih paham dengan hitungan yang ada di Pusat. Pada akhirnya sering menimbulkan sedikit kekisruhan.
“Inilah, betapa besarnya tugas para pencari duit di Bapenda. Sementara bendahara-bendahara yang ada di OPD, bertugas mencatat. Memang sederhana, tetapi kerjanya hingga malam pak (laporan pekerja pada Bupati, red). Ya sudah anda mencari pekerjaan! Apa dikira Bupati tidak bekerja sampai malam hingga jam tiga pagi. Karena tanda tangan yang ribuan banyaknya, apalagi ketambahan paraf yang nongkrong di si-A yang bisa dua hingga empat hari,” ucap Ardiansyah menjelasakan perihal tanggungjawab semua pihak.
Sehingga perihal surat-menyurat, Ardiansyah Sulaiman seringkali dianggap lambat menandatangani. Menyangkut hal itu, ia mempersilahkan agar menanyakan pada stafnya diruang kerja Bupati. Tak pernah ia memalangkan surat-surat, atau keputusan apa saja yang dibutuhkan masyarakat.
“Saudara-saudara bendahara punya tugas untuk laporan yang harus diselesaikan. Teknik pelaporan sudah tahu terkait akutansi, bendahara harus paham itu. Berbeda dengan saya yang pendidikan S2 berkaitan Keuangan Daerah ilmunya akutansi bermodal ilmu nahu (mengira-ngira, red). Sementara S1 saya adalah bahasa, tetapi sangking berminat mengetahui perihal keuangan saya mengambil S2 Keuangan Daerah,” ungkap orang nomor satu di Kutim ini. (kopi5/kopi3)