Wakil Bupati Kutim Mahyunadi memimpin jalannya rapat sengketa lahan di Desa Singa Gembara. Foto: Bella/Pro Kutim
SANGATTA — Di sebuah ruangan rapat berpendingin udara, sejumput harapan mulai mengalir dari para pihak yang selama ini berdiri berseberangan. Kamis, (8/5/2025), menjadi momentum penting, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Pemkab Kutim) kembali mempertemukan para pihak yang berseteru dalam sengketa lahan di Desa Singa Gembara. Ruang Arau di Kantor Bupati Kutim menjadi saksi bagaimana pemerintah daerah berupaya tak hanya menjadi penengah, tetapi juga fasilitator penyelesaian sengketa lahan antara Yayasan Sangatta Baru (YSB) dan warga yang tergabung dalam Forum Perjuangan Warga Rukun (FPR).

Pertemuan ini dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Kutim Mahyunadi, mewakili Bupati dan didampingi oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra Poniso Suryo Renggono, Kepala Dinas Pertanahan Simon Salombe, dan Kepala Bagian Hukum Setkab Kutim Januar Bayu Irawan. Hadir pula Kepala Desa Singa Gembara Hamriani Kassa dan perwakilan Kantor Pertanahan Kutim.
Diketahui, ketegangan soal kepemilikan lahan ini telah berlangsung cukup lama. YSB bersikukuh bahwa lahan seluas 25 hektare yang disengketakan merupakan aset sah mereka, didukung oleh sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 49 untuk Desa Singa Gembara dan Nomor 10 untuk Desa Teluk Lingga, serta empat surat keterangan pelepasan hak tanah. Namun warga yang tergabung dalam FPR menyatakan sebagian lahan tersebut telah mereka garap dan dihunikan sejak lama, bahkan turun-temurun.

Dalam rapat, Ketua Umum YSB Wiwin Sujati, kembali menegaskan bahwa YSB bukan bagian dari PT Kaltim Prima Coal (KPC), sebagaimana isu yang berkembang di masyarakat. Ia menyampaikan bahwa yayasan tersebut berdiri independen dengan semangat pelayanan kepada warga.
“Kami mempersilakan pengukuran bersama dilakukan oleh BPN, disertai legalitas masing-masing pihak. Mari kita buka dan selesaikan ini secara adil, profesional, dan legal,” ujarnya lugas.
Wakil Bupati Mahyunadi menanggapi secara serius. Ia menyebut, forum dialog adalah langkah penting, namun penyelesaian konflik agraria tidak cukup hanya dengan niat baik atau diskusi berulang.
“Jika tidak ada titik temu dalam tenggat waktu yang kita sepakati, maka opsi hukum menjadi pilihan final. Pemerintah tidak bisa membiarkan konflik ini berlarut-larut tanpa penyelesaian,” ujarnya tegas.

Puncak dari pertemuan ini adalah penandatanganan berita acara kesepakatan bersama oleh dua pihak yang berseteru, disaksikan oleh pemerintah daerah, perangkat desa, serta tokoh masyarakat.
Berikut lima poin kesepakatan dalam rapat penyelesaian sengketa lahan di Desa Singa Gembara yang ditandatangani oleh kedua pihak:
- Yayasan Sangatta Baru (YSB) memiliki lahan berdasarkan Sertifikat HGB Nomor 49 Desa Singa Gembara dan Nomor 10 Desa Teluk Lingga, serta Surat Keterangan Melepas Hak Tanah Nomor 385, 387, 388, dan 389 seluas total 25 hektare. YSB bersedia memberikan sebagian lahan maksimal 10 hektare kepada warga FPR, setelah melalui proses identifikasi dan disetujui oleh Pembina Yayasan.
- Sisa lahan seluas 15 hektare tetap dikelola oleh YSB dan akan diproses ke Kantor Pertanahan dengan dukungan dari FPR, perangkat desa, RT, dan dusun setempat.
- Identifikasi lahan warga akan dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Desa Singa Gembara, Dinas Pertanahan, dan Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Timur.
- Proses identifikasi lahan disepakati untuk diselesaikan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak kesepakatan ditandatangani.
- Setelah identifikasi selesai dan mendapat persetujuan dari Pembina YSB, kedua pihak sepakat bahwa tidak ada lagi sengketa atas lahan tersebut, dan proses penyelesaian hukum maupun administratif dapat dilanjutkan sesuai peraturan.
Salah satu momen penting datang dari Kepala Desa Hamriani Kassa, yang secara terbuka meminta proses identifikasi awal dilakukan seobjektif mungkin.


“Kita harus pastikan lahan ini diidentifikasi sesuai fakta di lapangan. Tidak boleh ada intervensi, baik dari yayasan maupun warga. Pemerintah desa siap netral dan mendukung keadilan,” ungkapnya.
Sedangkan Kepala Dinas Pertanahan Kutim Simon Salombe, menyebut forum ini sebagai jembatan mediasi. “Ini bukan soal siapa yang menang, tapi bagaimana Kutim punya solusi yang adil dan terukur,” ujarnya singkat.
Meski jalan damai sudah digelar, pertanyaan besar tetap bergelayut, akankah kesepakatan ini benar-benar diwujudkan dalam tenggat 30 hari ke depan? Apakah proses identifikasi akan benar-benar netral, adil, dan menyeluruh?
Pemerintah daerah, lewat pernyataan Mahyunadi, mengisyaratkan bahwa tidak akan tinggal diam jika kesepakatan ini diabaikan. Jalur hukum tetap menjadi opsi terakhir, bukan ancaman, tetapi tanggung jawab untuk menghadirkan kepastian hukum. Untuk saat ini, masyarakat Singa Gembara bisa bernapas sedikit lebih lega. Bukan karena masalah selesai, tapi karena titik terang mulai terlihat. Di tengah bayang-bayang konflik yang panjang, kesepakatan lima poin ini menjadi cahaya kecil yang menuntun langkah ke arah damai.
“Terima kasih atas kebersamaan dan itikad baik seluruh pihak. Semoga apa yang kita sepakati hari ini menjadi jalan tengah bagi kebaikan semua,” ujar Mahyunadi, menutup forum. (kopi12/kopi13/kopi3)